Kisah kashishiburi: apa yang terjadi setelah tren negatif berlangsung satu dekade? (update_Cina)

Standard

Coret-coret ini adalah kelanjutan dari dua posting yang lalu. Pada coret-coret yang pertama, saya membandingkan rasio kredit-GDP Indonesia dengan negara-negara tetangga yang juga mengalami krisis. Selain rasio kredit-GDP, saya juga membandingkan rasio Quasi money-GDP. Untuk dua rasio itu, Indonesia mengalami tren negatif selama lebih dari 10 tahun. Dengan kata lain, porsi kredit dan Quasi money terhadap GDP terus turun. Tren negatif dua rasio (kredit-GDP dan Quasi Money-GDP) selama satu dekade antara 1960-2008, hanya dialami oleh tujuh negara.

Tujuh negara tersebut sebagian besar memang negara di Afrika atau Timur Tengah (Algeria, Egypt, Iran, Sierra Leonne dan Trinidad-Tobago). Ada juga dua negara dari Amerika Latin (Uruguay dan Venezuela). Negara-negara ini mengalami tren negatif kredit-GDP dan Quasi money-GDP selama 10 tahun, pada era 1980an atau awal 1990an. Bahkan ada yang mengalami tren negatif dua kali antara 1960-2008. Pada coret-coret yang kedua, gambar rasio ketujuh negara tersebut saya bandingkan. Selain rasio aktivitas perbankan (kredit, Quasi Money, M2) terhadap GDP, saya juga membandingkan rasio aktivitas investasi (Gross Domestic Investment, Foreign Direct Investment-inflow dan outflow) terhadap GDP.

Setelah selesai mendapatkan gambar dan membandingkannya, timbul pertanyaan: apa yang terjadi dengan ekonomi tujuh negara ini? Bisakah ekonomi mereka pulih? Bagaimana cara atau ciri pemulihan ekonomi mereka? Jawaban atas pertanyaa itu saya coretkan di sini. Tentu saja, coret-coret ini cuma untuk lucu-lucuan. Jawabannya yang serius seharusnya dibuat dengan menggunakan model dan uji statistik yang tepat. Bukan dengan sekedar membanding-bandingkan grafik dalam Excel.

Mengenai “growth” vs “ratio”….

Untuk melihat bagaimana ekonomi pulih, saya pakai GDP growth. Pada database World Bank, data GDP growth (% annual) sama dengan data GDP growth constant Local Currency Unit. Artinya, angka-angka itu sudah memperhitungkan inflasi. Akan tetapi penggunaan GDP growth sebagai ukuran pemulihan ekonomi mengakibatkan rasio kredit-GDP tidak sepadan lagi untuk dibandingkan dengan angka GDP growth. Demikian juga dengan rasio-rasio lain yang menggunakan GDP sebagai pembagi. Membandingkan “rasio tertentu” dengan “peningkatan” seperti membandingkan apel dengan jeruk. Tidak pas. Kalau peningkatan ya mustinya dibandingkan dengan peningkatan. Peningkatan GDP dibandingkan dengan peningkatan kredit, Gross Domestic Investment (GDI atau Gross Capital Formation).

Itu sebabnya, pada gambar-gambar kali ini, saya tidak lagi menggunakan rasio kredit-GDP tapi Credit growth (peningkatan kredit). Demikian pula dengan rasio GDI-GDP, saya ganti dengan angka peningkatan GDI. Data GDI growth ada di database World Bank (GDI juga disebut Gross Capital Formation). Sayangnya, database World Bank tidak menyediakan data Credit nominal; juga tidak menyediakan data Credit growth. Jadi, terpaksa saya menghitung sendiri angka Credit growth. Saya memperkirakan data Credit nominal dari data rasio kredit-GDP. Setelah nilai nominal kredit didapat, angka di-deflated dengan GDP deflator. Setelah itu saya hitung peningkatannya per tahun.

Kenapa pengubahan dari rasio kredit-GDP ke peningkatan kredit diomongin panjang lebar? Karena tren negatif rasio kredit-GDP tidak selalu berarti kredit tumbuh negatif. Jelasnya begini. Indonesia mengalami tren negatif rasio kredit-GDP sejak krisis ekonomi 1997/1998. Tapi sebetulnya, kredit perbankan Indonesia tetap tumbuh; cuma porsinya dibanding GDP terus turun. Karena yang saya gambar sebagian besar adalah negara yang mengalami tren negatif rasio kredit-GDP, nanti akan nampak ada juga negara yang mengalami pertumbuhan kredit negatif. Hal yang sebaliknya juga bisa terjadi. Misalnya, Indonesia memiliki tren positif untuk rasio GDI-GDP. Tapi sebenarnya, pertumbuhan GDI terus turun.

Tadinya, saya hanya akan berhenti di tiga macam data saja: GDP growth, Credit growth dan GDI growth. Tapi karena “tingkat inflasi” juga berperan (angka-angka itu di-deflated semua), inflasi juga saya tambahkan untuk memberikan gambaran apa jadinya kalau inflasi tidak bisa dikendalikan. Jadi, pada masing-masing gambar ada empat data.

Setelah digambar semua, supaya “sekali lihat” gambar bisa “bunyi”, saya tambahkan “trend line”. Tujuannya supaya data pertumbuhan GDP, kredit, GDI dan inflasi dari tahun 1960-2008/2009 itu bisa nampak kecenderungannya. Gambar memang akhirnya jadi agak ruwet…hehe.

Saya menggambar Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam dan tujuh negara di luar kawasan Asia (Algeria/Aljazair, Egypt/Mesir, Iran, Sierra Leone, Trinidad-Tobago, Uruguay dan Venezuela). The mighty China juga saya gambar sebagai semacam “benchmark”. Korea Selatan juga saya ikutkan; tapi Singapore dan Vanuatu saya drop karena data tidak lengkap.

Total ada 14 negara yang digambar. Lalu apa bunyi gambar-gambar itu? Pertama-tama, “cembung lebih baik dari cekung”. Negara-negara yang memiliki tren positif (dari kiri bawah ke kanan atas) lebih baik dari pada yang memiliki tren negatif (dari kiri atas ke kanan bawah). Apalagi kalau cekung tanpa ada indikasi meningkat, seperti “menuju ke dasar mangkok”. Harap diingat, yang saya bicarakan adalah “tren” semacam “ringkasan kinerja 50 tahun”. Perbaikan kinerja setahun dua tahun tidak akan langsung terlihat. Tapi perbaikan kinerja yang konsisten akan membuat “tren” suatu negara berubah kalau tren digambar ulang.

Kedua, tren pertumbuhan kredit dan GDI idealnya diatas pertumbuhan GDP. Minimal, tren salah satu (pertumbuhan kredit atau pertumbuhan GDI) lebih besar dari tren pertumbuhan GDP. Kondisi tersebut akan membantu pemulihan ekonomi. Negara yang punya tren kredit dan/atau GDI lebih tinggi dari tren GDP asal bisa mengendalikan inflasi, biasanya memiliki tren GDP yang membaik.

Ketiga, tren inflasi benar-benar harus ditekan serendah mungkin. Kalau bisa, lebih rendah dari tren pertumbuhan GDP. Nanti akan nampak, negara yang memiliki tren inflasi spektakuler memiliki tren negatif GDP growth. Artinya, setelah mengalami tren negatif rasio kredit-GDP selama satu dekade; tidak bisa mengendalikan inflasi; pertumbuhan GDP akan terus tertekan. Dengan kata lain, ekonomi susah pulih.

Gambarnya….

Saya mulai dengan memperlihatkan gambar Cina, setelah itu Indonesia. Setelah dua negara itu, ke-12 gambar negara yang lain akan ditampilkan berdasarkan abjad.

Cina

Saya sempat menggambar Brazil dan India yang jadi “pesaing” Cina, walaupun tidak saya pamerkan disini. Gambar dua negara itu tidak sebagus the mighty China. Dari gambar di atas nampak, tren pertumbuhan kredit negatif/landai (garis hijau), tapi tren pertumbuhan GDI positif (garis merah). 
Ada baiknya Cina dibahas agak detail karena bisa jadi gambaran peran kredit, GDI dan FDI (Foreign Direct Investment). Pertama-tama, kita sepakat bahwa Cina punya pertumbuhan GDP yang bagus (lepas dari gosip negatif bahwa angka-angka statistik banyak “disulap”). Kedua, rasio kredit-GDP 1960-2009 terus meningkat (data 1977-2009, rata-rata 94% GDP), sedangkan porsi GDI terhadap GDP cenderung stabil atau landai (data 1960-2009, rata-rata 33% GDP). Demikian pula dengan porsi FDI-GDP (data 1982-2009, rata-rata 2,6% GDP).
Pertumbuhan kredit, seperti gambar Cina yang pertama menunjukkan tren negatif. Akan tetapi, tren pertumbuhan GDI positif. Agak aneh juga tren pertumbuhan kredit negatif tapi tren pertumbuhan GDI positif…Nah rupanya tren pertumbuhan FDI juga positif. Dengan kata lain, walaupun tren pertumbuhan kredit negatif, tapi investasi tetap tumbuh positif karena didukung investasi dari luar Cina. Gambarnya di sebelah ini….

Cina juga bisa menekan inflasi (garis putus-putus warna ungu) lebih baik dari Brazil, India dan Russia. Inflasi sempat meningkat sekitar 5% tahun 2007-2008 tapi waktu itu GDP tumbuh diatas 10%.

Kalau mau tau lebih jelas gambar inflasi Cina dan mengapa tren inflasi bisa menukik turun begitu, disebelah ini gambarnya.

Catatan: data inflasi Cina tersedia mulai tahun 1987; data inflasi Brazil tersedia mulai tahun 1981, tapi angka inflasi 1981-1994 sangat ekstrem: terendah 100,54% tertinggi 2947%. Data inflasi Rusia tersedia dari tahun 1993; angka inflasi Rusia 1993-1995 juga ekstrem: terendah 197,47% tertinggi 874,62%. Data inflasi Indonesia dan India tersedia dari tahun 1961. Akan tetapi angka inflasi Indonesia antara 1961-1968 sangat ekstrem. Terendah 13,69% (1961), tertinggi 1136,25% (1966). Angka-angka ekstrem terpaksa di-drop supaya tidak mengganggu gambar. Semua data diambil dari World Bank.

Dari sekian gambar yang saya kumpulkan, jarang ada negara macam Cina. Korea juga tidak. Mungkin harus banyak-banyak studi banding ke Cina….

Indonesia

Catatan: Data inflasi Indonesia tahun 1961-1968 saya drop karena nilainya sangat ekstrem.

Indonesia sebenarnya memiliki tren Credit growth positif (garis hijau). Tapi tren pertumbuhan GDI-nya negatif (garis merah). Saya mengintrepretasikan, pertumbuhan kredit tidak terwujud dalam bentuk investasi. Karena inflasi masih tinggi, akhirnya GDP juga susah “take off”. Itu juga sebabnya saya ragu dengan salah satu penilaian IMF dan ADB yang “seolah” tidak merisaukan tren negatif rasio kredit-GDP selama satu dekade. Apa benar Indonesia tidak perlu risau? (Apalagi kalau rasio Quasi money-GDP juga turun).

Algeria

Porsi kredit-GDP Algeria sempat mencapai 99% tahun 1988, tapi sejak itu porsi terus turun sampai hanya 4% tahun 2006, bahkan negatif di tahun-tahun berikutnya. Di negara ini nampaknya bank betul-betul enggan menyalurkan kredit. Tren pertumbuhan kredit negatif; untungnya tren pertumbuhan GDI positif. Porsi GDI-GDP juga positif karena nampaknya didukung oleh porsi Quasi Money-GDP yang membaik dan porsi Foreign Direct Investment-inflow terhadap GDP yang terus membaik. Karena inflasi Algeria cukup tinggi dan tidak ada gejala turun, pertumbuhan GDP nyaris stagnan. Overview mengenai Algeria http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/MENAEXT/ALGERIAEXTN/0,,contentMDK:20188043~pagePK:141137~piPK:141127~theSitePK:312509,00.html

Egypt

Mesir mengalami tren pertumbuhan kredit dan GDI yang negatif. (Perhatikan, cekung seperti didasar mangkok). Yang positif sayangnya cuma inflasi. Akibatnya GDP tidak meningkat.

Mesir, menurut saya, pantas jadi cermin Indonesia kalau ingin memulihan ekonomi. Mari gambarnya kita lihat lebih detail.

Ini gambar rasio kredit-GDP dan M2-GDP Mesir, seperti yang sudah dipamerkan di coret-coret yang lalu. Mesir mengalami “dua gunung” baik untuk rasio kredit-GDP dan Quasi Money-GDP atau M2-GDP. Antara tahun 1986-1993 rasio aktivitas perbankan terhadap GDP menurun (dari 119% menjadi 80% untuk rasio kredit-GDP). Akan tetapi antara tahun 1994-2003 mulai meningkat lagi (rasio kredit-GDP menjadi 112%). Apa rahasianya sehingga rasio kredit-GDP bisa kembali meningkat?

Gambar di bawah ini sebenarnya sama dengan gambar Mesir yang pertama, yang ada garis tren. Perhatikan bagaimana tingkat inflasi dan GDP sekitar pertengahan 1990an. Perhatikan juga “posisi” pertumbuhan GDI dan pertumbuhan kredit yang ada dititik terendah pada tahun 1990 dan 1991.

Setidaknya di Mesir, pertumbuhan kredit dan pertumbuhan GDI ada hubungannya dengan pertumbuhan GDP dan inflasi. Coba perhatikan ketika Mesir memasuki era “pemulihan rasio kredit-GDP” antara tahun 1994-2003. Inflasi mulai bisa dikendalikan dari sekitar 8% menjadi dibawah 5%. Tingkat pertumbuhan kredit mencapai 14% dan pertumbuhan  GDI 26%. Tapi pada tahun 2004 ketika inflasi menjadi 11%, perhatikan apa yang terjadi dengan pertumbuhan kredit. Kebetulan rasio kredit-GDP juga mulai menurun…
Jadi, menurut saya, jangan buru-buru bilang “no worries” ketika rasio kredit-GDP terus turun… rasio ini menyimpan cerita….

Iran

Iran mirip Mesir….Perhatikan tren pertumbuhan kredit yang ada dibawah tren pertumbuhan GDP, dan bagaimana tren GDP ikut terseret turun….

Korea Republic

Korea bisa menekan inflasi. Sayangnya tren GDI negatif, bahkan sudah dibawah tren GDP. Untungnya tren kredit, walaupun juga negatif, masih sedikit diatas tren GDP. (Porsi GDI terhadap GDP cenderung landai sedangkan porsi kredit terhadap GDP terus meningkat.) Bisa dilihat garis biru (tren pertumbuhan GDP) sedikiiiiit sekali meningkat.

Malaysia

Malaysia mirip Korea.

Philippines

Filipina mirip Mesir dan Iran. Untung tren inflasi tidak setinggi dua negara tersebut.

Sierra Leone

No comment…hehe… Gambar jadi kayak gini karena data tidak lengkap. Data pertumbuhan GDI hanya tersedia dari tahun 1981-1995. Data inflasi hanya tersedia mulai 2007. Data pertumbuhan kredit dan pertumbuhan GDP relatif lengkap.

Thailand

Mirip Korea dan Malaysia.  Thailand punya tren pertumbuhan kredit (garis hijau) jauh diatas GDP. Padahal Thailand porsi kredit terhadap GDP terus turun dari 1997-2006. Mungkin, potensi Thailand sebenarnya lebih baik dari Malaysia (?)

Trinidad-Tobago

Tren Trinidad mirip Indonesia. Tren inflasi diatas tren GDP growth. Tren pertumbuhan kredit cenderung negatif dan dibawah GDP growth. Sedangkan tren pertumbuhan GDI (garis merah) cenderung positif sedikit di atas tren GDP growth. Kalau diperhatikan benar-benar (mungkin musti pakai kaca pembesar), tren GDP growth cenderung turun (perhatikan garis biru). Yang pingin tau country profile Trinidad-Tobago http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/LACEXT/TRINIDADANDTOBAGOEXTN/0,,contentMDK:21045974~menuPK:331460~pagePK:1497618~piPK:217854~theSitePK:331452,00.html

Uruguay

Uruguay memiliki tren pertumbuhan kredit dan GDI diatas tren GDP growth. Saya pikir, harusnya negara ini punya tren GDP agak meningkat. Tapi tren inflasinya minta ampun…. Perhatikan juga akibatnya ke pertumbuhan GDP.

Venezuela

Mirip Uruguay. Tren pertumbuhan  GDI diatas tren pertumbuhan GDP sedangkan tren pertumbuhan kredit menurun. Karena tren inflasi positif, akibatnya tren pertumbuhan GDP ikut tertekan.

Vietnam

Data Vietnam paling awal tersedia mulai tahun 1985. Kalau hanya melihat tren pertumbuhan kredit dan GDI kayaknya bagus karena keduanya di atas tren GDP growth. Tapi tren inflasi mulai meningkat. Jangan-jangan kedepan tren GDP growth Vietnam (garis biru) menjadi negatif (seperti mangkok terbalik).

Jadi…?

Indonesia dan tujuh negara yang mengalami penurunan rasio kredit-GDP dan penurunan rasio Quasi Money-GDP selama hampir satu dekade ternyata rata-rata memiliki tren inflasi di atas tren pertumbuhan GDP. Mungkin itu sebabnya, tren GDP tidak nampak membaik.

Memang penurunan rasio kredit-GDP tidak selalu berarti pertumbuhan kredit negatif.  Diantara delapan negara tersebut, Indonesia satu-satunya yang mengalami pertumbuhan kredit positif diikuti oleh pertumbuhan GDI negatif. (Uruguay sebetulnya mirip Indonesia, tapi inflasi negara ini luar biasa tinggi dan lebih fluktuatif.) Hal ini menurut saya menunjukkan, kredit mungkin lebih banyak tersalur ke sektor non-produktif. Kemungkinan yang lain, rasio GDI-GDP yang cenderung meningkat tapi pertumbuhannya negatif  menunjukkan dampak “kerusakan” akibat krisis ekonomi. Paska krisis banyak bisnis lokal diambilalih/berganti pemilik. Mungkin itu sebabnya rasio GDI-GDP Indonesia terus meningkat. Akan tetapi dengan berlalunya waktu proses pengambilalihan ini terus berkurang. Sementara kredit masih belum bisa disalurkan sepenuhnya ke sektor produktif. Akibatnya pertumbuhan GDI cenderung turun, walaupun pertumbuhan kredit meningkat. Mungkin begitu…

Gambar-gambar diatas menunjukkan Indonesia mirip Algeria dan Trinidad-Tobago. Kombinasi tren pertumbuhan kredit menurun, pertumbuhan GDI meningkat atau sebaliknya. Ndak perlu kecil hati karena Algeria dan Trinidad-Tobago adalah negara paling maju di kawasan masing-masing. Indonesia juga mirip Uruguay dan Venezuela, untungnya inflasi Indonesia lebih terkendali.

Menurut saya, kalau ingin ekonomi pulih (dalam arti ekonomi tumbuh signifikan), inflasi harus ditekan di bawah tren pertumbuhan GDP, kredit dan GDI. Mungkin pejabat ekonomi Indonesia harus punya semboyan heroik: “inflasi rendah harga mati”. Mungkin juga perlu inovasi untuk mengendalikan dan mengatasi inflasi. Sedangkan pertumbuhan kredit (yang surprisingly cembung dan di atas pertumbuhan GDP) harus semakin dipacu dan terarah. Tentu akan lebih bagus kalau tren pertumbuhan GDI juga mengalami titik balik (mulai positif), jangan cekung terus-terusan. Memperhatikan gambar-gambar di atas, saya tidak terlalu optimis akan ada masa “ekspansi” tujuh tahun kedepan untuk Indonesia (saya cetak tebal karena Indonesia bukan hanya  Jakarta).  Ekspansi ekonomi  bisa saja terjadi jika dan hanya jika, pertumbuhan kredit yang positif  diikuti oleh pertumbuhan GDI yang positif, dan inflasi ditekan serendah mungkin, seperti yang terjadi di Mesir antara tahun 1994-2003.

Tapi ini cuma lucu-lucuan…jangan dianggap serius….

Leave a comment