Author Archives: srikripik

Angka mendongeng likuidasi bank dan dana pihak ketiga

Standard

Halllooooow…Sudah lama nggak bikin “graffiti” disini…

Agak ge-er juga karena tiap hari kok ya ada aja yang nyasar ke blog saya. Terimakasih dah mampir; mereka yang baca blog ini mestinya berusaha cari info yang obyektif sans takhayul. Saya ke-ge-er-an karena saya tidak menulis gosip yang bombastis; itu sebabnya tulisan saya bisa long and boring. Saya yang nulis saja kadang bosan… 🙂

Sekarang bikin lagi coret-coret sedikit yang ada kaitannya dengan Century…. (oh no!). Soalnya, argumentasi yang bikin bailout bikin penasaran syiih…. Saya ngikuti dari  media dan bikin saya bertanya-tanya “oh ya?”…”masak gitu syiiih?”. Daripada sakit penasaran, akhirnya saya kumpulin data-data trus saya tarik-tarik di Excel. Hasilnya saya pamerin disini.

Ada pembelaan biasanya dari yang pro bailout, bahwa kalau Century dilikuidasi pada November 2008 akan memicu penarikan dana besar-besaran (dan Indonesia bisa jatuh lagi ke kondisi krisis seperti waktu tahun 1997-1998 dulu). Ada lagi yang bilang, likuidasi bank mengakibatkan bank dengan besar asset sejenis mengalami kesulitan likuiditas. Contoh yang diberikan adalah likuidasi Bank Dagang Bali dan Bank Asiatic bulan April 2004.
Argumentasi “likuidasi bank memicu bank run atau rush” sepintas ada benarnya. Jangankan likuidasi; kadang isu ada bank akan dilikuidasi saja sudah cukup bikin nasabah bank yang di-isukan tarik uang. Sangat intuitif toh? Nasabah tidak punya informasi yang 100% akurat. Dalam ketidakpastian, semua pasti tidak mau ambil resiko uang masih nyangkut di bank yang tiba-tiba bisa dinyatakan dilikuidasi regulator. Daripada terlambat, lebih baik diambil secepatnya. Akibatnya, banyak terjadi penarikan dana pihak ketiga dan bisa berpotensi bikin bank yang sebenarnya tidak apa-apa jadi ikut sakit karena kekurangan likuiditas.

Tapi, argumentasi tersebut biasanya dipresentasikan tidak pakai angka atau data. Mari sama-sama dilihat data atau angka-angkanya.

Angka punya cerita….

Saya punya data dana pihak ketiga bulanan dari 1980 sampai dengan 1999. SEKI (Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia) yang tabelnya bisa diakses di web BI menampilkan data bulanan dana pihak ketiga dari Januari 1990 sampai Desember 2012. Data dana pihak ketiga itu saya gabungkan lalu saya sesuaikan pakai GDP deflator (menyesuaikan dengan tingkat inflasi). Setelah itu saya hitung perubahan dana dari satu bulan ke bulan berikutnya. Gambarnya seperti ini:

fluktuasi dp3 1997-2012

Sebelum lanjut, saya ceritain sedikit “masalah” kalau angka nominal disesuaikan dengan GDP deflator. GDP deflator tu punya angka tahun dasar. Jadi ada tahun dimana deflator dikasi index 100. Dari tahun 1980 sampai 2012 sudah ngelewati dua kali tahun dasar yaitu tahun 1993 dan 2000. Akibatnya, angka untuk tahun itu sama dengan angka nominal. Akibat selanjutnya, kalau dibikin perbandingan akhirnya “timpang” terutama antara bulan Desember 1992-Januari 1993 dan Desember 1999- Januari 2000. Pada dua periode ini, angka deflated dibandingkan dengan angka nominal. Akhirnya seolah ada perubahan (naik atau turun) gede banget. Diluar bulan transisi ini, semuanya normal. Dua titik observasi ini dihilangkan, tidak akan mengubah hasil…kalau tetap diikutkan mereka cuma jadi outliers saja.

Kembali ke gambar di atas….Bisa dilihat, dana pihak ketiga industri perbankan tidak hanya mengenal kata “nambah” tapi juga “turun”. Ini data selama 33 tahun atau 396 bulan lo! Karena datanya dari  dua sumber, saya coba-coba dengan dua kombinasi data. Yang pertama pakai data saya sampai tahun 1999 lalu disambung dengan data SEKI mulai tahun 2000 sampai 2012. Yang kedua pakai data saya sampai tahun 1989 lalu disambung data SEKI mulai tahun 1990 sampai tahun 2012.  Oya kenapa saya tidak cari terbitan/print out SEKI dari tahun sebelum 1990….karena…saya terlalu malas untuk melakukannya. Yang ada di web cuma dari 1990…ya sudah…he-he-he. Mungkin suatu hari nanti data ini akan saya perbaiki. Kalau ada yang punya datanya, boleh kasi ke saya nanti tak pakai buat update….

Yang jelas, biar datanya “tambalan” gini, hasilnya lumayan konsisten. Rata-rata penambahan dana pihak ketiga tiap bulan dari Januari 1980-Desember 2012  adalah 0,99% (pakai data sambungan model 1) atau sekitar 1,04% (pakai data sambungan model 2). Dengan kata lain, selisih tidak beda jauh.
Kalau angka penurunan dana pihak ketiga yang dihitung, rata-rata penurunan dana pihak ketiga selama 33 tahun itu berkisar antara -3,84% (data versi 1) sampai dengan -4,14% (data versi 2). Kalau angka penambahan saja yang dihitung, nilai rata-rata adalah 2,55% (versi 1) dan 2,66% (versi 2). Angka penambahan tertinggi adalah 24,46% (versi 1, Juli 1991) dan 26,6% (versi 2, November 1992) sebulan. Angka penurunan dana pihak ketiga terbesar adalah -24,49% (versi 1) dan -24,99% (versi 2); kedua versi data kompak menunjukkan penurunan itu terjadi bulan Januari 1998.

Apa betul likuidasi bank menyebabkan dana pihak ketiga turun?

Ini pertanyaan bodoh ya…terutama bagi mereka yang berpendapat penyelamatan Century 2008 itu perlu.

Yang jelas, data perubahan dana pihak ketiga bank selama 396 bulan menunjukkan, dana pihak ketiga turun tidak selalu karena ada likuidasi. Lihat saja tiap bulan Januari…hampir bisa dipastikan terjadi penurunan dana pihak ketiga. Tidak ada likuidasi, dan tidak pada bulan Januari pun, dana pihak ketiga juga bisa turun.Pendeknya, dana bank bisa dan biasa turun. Nambah saja bisa masa kurang gak bisa??

Saya bukannya mengesampingkan efek likuidasi terhadap “keresahan nasabah” yang katanya akan berakibat “penarikan dana besar-besaran” yang akhirnya akan “mengakibatkan berkurangnya dana pihak ketiga industri perbankan”. (Argumentasi pro bailout Century). Memang betul, pas terjadi likuidasi, (misalnya bulan November 1997, April 2004, April 2009) dana pihak ketiga berkurang. Tapi efek negatif likuidasi terhadap dana pihak ketiga sebetulnya tidak lama. Saya perkirakan, sekitar sebulan.

Mengapa bisa bilang gitu? Ini saya ada gambar fluktuasi dana pihak ketiga dengan fluktuasi jumlah bank. Perubahan jumlah bank saya anggap “karena ada likuidasi” karena gambar ini dibikin dengan data 1997-1999.

fluktuasi dp3_jmlh bank

Data dan gambar menunjukkan, dalam waktu satu bulan, dana perbankan biasanya kembali meningkat. Jadi pas bulan likuidasi berkurang, bulan depannya ada peningkatan. Uang akan kembali disimpan di bank kalau nasabah sudah dapat informasi yang benar. Makanya, sangat penting bagi regulator/otoritas keuangan untuk mengelola informasi dalam waktu sesingkat-singkatnya setelah likuidasi diumumkan. Nggak bisa dong, otoritas umumkan likuidasi setelah itu sudah tidak ada penjelasan atau informasi apa-apa, terutama mengenai kondisi bank yang lain.

Likuidasi bikin bank rush dimana-mana??

Sebelum dilanjutkan: waktu nulis ini, saya bertanya-tanya (dan cari jawabnya sendiri-tentu saja) berapa banyak bank yang kehilangan dana pas krisis 1997-1998? Soalnya, yang dikhawatirkan pengambil keputusan waktu bailout Century itu kan “adanya penarikan dana besar-besaran di bank-bank”. Pendeknya “bank stampede” lah…nasabah dikhawatirkan kalap terus nyerbu atm-atm, dan antri di teller bank-bank melikuidasi simpanannya (baca berita tahun 1998 waktu Danamon dimasukkan dalam pengawasan BPPN  ( http://tempo.co.id/ang/min/03/06/ekbis2.htm ). Waktu krisis ekonomi 1997-1998, berapa banyak bank yang kehilangan dana, dan (ini yang penting) berapa lama? Mestinya, karena krisis itu krisis serius, banyak bank yang kehilangan dana, jumlah dana yang hilang juga besar (kayak bleeding gitu lah) dan durasi kehilangan itu -mestinya- lama.

Saya punya data dana pihak ketiga individual bank- bulanan. Saya ambil dari Januari 1996-Desember 1999. Saya mulai dari 1996 supaya bisa dibandingkan  jumlah bank yang kehilangan dana antara pra krisis dan pada masa krisis. Siapa tau sebelum krisis moneter itu sebetulnya sudah ada “gejala” penarikan dana besar-besaran dibank-bank…?  Saya hitung fluktuasi dana (perubahan dana bulan t dibandingkan dengan bulan t-1), setelah itu saya hitung berapa banyak bank yang punya angka minus. Dengan kata lain, selama 48 bulan saya hitung berapa banyak bank yang mengalami penurunan dana.  Gambarnya seperti ini:

banks losing funds 1996-1999

 

Saya terus terang agak kecewa karena tidak menemukan pola penarikan besar-besaran dan terus menerus pada masa krisis entah 1997 atau 1998. Saya tadinya ngira, bank  yang kekurangan dana akan terus naik dari bulan ke bulan…kan krisis tuh. Apalagi banyak bank dilikuidasi. Ternyata tidak begitu; perbedaan antara pra krisis dan krisis “hanya” pada prosentase bank yang mengalami penurunan dana. Pada tahun 1997-1999, prosentase/jumlah bank yang mengalami penurunan dana bisa mencapai lebih dari 50% (lebih banyak).  Misalnya, pada saat  16 bank dilikuidasi tanggal 1 November 1997, 63% bank mengalami penurunan dana. April 1998 ketika BPPN mengumumkan pengambilalihan 7 bank dan membekukan 7 bank yang lain, 46% bank mengalami kekurangan dana.

Harus diingat, prosentase bank yang mengalami pengurangan dana diartikan juga sebagai prosentase bank yang mengalami penambahan dana. Jadi kalau ada 40% bank yang mengalami penurunan dana, 60% bank di industri mengalami penambahan dana. Biasanya, satu atau dua bulan setelah mayoritas bank mengalami penarikan, bulan berikutnya jumlah bank yang mengalami penarikan berkurang. Sebaliknya, bank yang mengalami penambahan dana bertambah banyak. Dengan kata lain, dari sisi bank (bukan dari sisi total dana), yang mengalami penurunan dana sebenarnya relatif cepat mendapatkan dananya kembali. Bank membutuhkan satu-dua bulan untuk kembali mengakumulasi dana, sedangkan dari sisi total dana pihak ketiga, kalau sempat berkurang, butuh waktu sekitar sebulan untuk pulih. (Mungkin dana ditarik dan disimpan sementara di bank lain yang dianggap aman; setelah benar aman, kembali lagi ke bank semula).

Hal lain yang harus diingat, meningkatnya jumlah bank yang mengalami penurunan dana tidak ada kaitannya dengan likuidasi, dan tidak selalu berarti  pengurangan dana pihak ketiga bank seluruh industri. Memang ada kalanya demikian. Bulan Januari, hampir seluruh bank mengalami penarikan dana; dana pihak ketiga memang biasa berkurang. Akan tetapi bisa juga terjadi, dana pihak ketiga bertambah pada saat hampir separuh bank mengalami penurunan. Lihat bulan September 1997 misalnya. Pada saat prosentase bank yang mengalami penurunan dana 58,4%, dana pihak ketiga bank justru bertambah 1,36%.

Selain angka prosentase,  pola/siklus  jumlah /prosentase bank yang kehilangan dana pada periode pra krisis tidak banyak beda dengan periode krisis. Polanya gini: setelah bulan Januari, ada 3 peak (titik optimal) prosentase jumlah bank yang kehilangan dana. Itu terjadi tiap tahun (kecuali 1999 ada 4 peak). Tahun 1996, misalnya, banyak bank mengalami penurunan dana di bulan Maret-April, Agustus, November. Hal yang mirip terjadi pada tahun 1997 dan 1998; bedanya cuma sebulan saja.  Pada tahun 1999, peak ke empat adalah bulan Desember.

Berikut ini gambar fluktuasi dana Januari 1996-Desember 1999…silakan dibanding-bandingkan dengan fluktuasi prosentase bank yang mengalami penurunan dana.

fluktuasi dp3 96-99

Jadi, menurut saya sih, ndak bisa orang mensimplifikasi hubungan antara “penarikan besar-besaran” (baik dalam artian kuantitas dana maupun kuantitas bank), dengan “likuidasi”, dan dengan “krisis”. Tidak ada krisis tidak ada likuidasi bank, jumlah dana pihak ketiga fluktuatif; jumlah bank yang mengalami penurunan dana (dan menerima pelimpahan dana) juga naik turun. Mungkin ada siklus 3-4 bulanan dalam setahun-diluar bulan Januari…tapi tentu saja tebakan ini harus dibuktikan dengan data lebih banyak lagi). Pada masa krisis, memang, jumlah bank yang mengalami penuruan dana bisa lebih banyak. Tapi jumlah bank yang mengalami penambahan dana-satu bulan setelah ada pengumuman yang bersifat negatif-bisa lebih banyak daripada masa sebelum krisisi. Juni 1998, misalnya, jumlah bank  yang mengalami penambahan dana mencapai 79%. Pada tahun 1996 prosentase terbesar bank yang mengalami penambahan dana adalah 76%.

Yang jelas, paling tidak dari data bulanan, kalau ada pengumuman yang tidak menguntungkan (likuidasi atau pembekuan bank) realokasi dana terjadi dalam jangka pendek, sekitar satu bulan. Itu sebabnya regulator/otoritas harus mampu mengelola golden time ini dengan memberikan informasi sebaik-baiknya. Penyampaian informasi dengan terang benderang kepada nasabah akan membuat dana disimpan balik ke bank -harapannya- dalam hitungan hari. (Sekali lagi, untuk membuktikan atau cari tau berapa lama persisnya pembalikan dana terjadi, data yang dipakai mustinya bukan data bulanan tapi mingguan atau harian. Sayang, saya tidak punya.)

Depresiasi rupiah berkaitan dengan pengurangan dana pihak ketiga??

Setelah melihat gambar-gambar fluktuasi dana pihak ketiga 1980-2012, 1996-1999 juga prosentase bank yang mengalami kekurangan dana, mari kita undang faktor “nilai tukar” ke dalam cerita ini.

Katanya, kan gini: pada saat rupiah memburuk pada tahun 2008, itu arahnya dah ke kondisi krisis ekonomi. (Tentu saja, abaikan kinerja makro dan industri perbankan 2008 yang lebih baik dibanding 1997). Terus untuk  mencegah supaya tidak terjadi rush besar-besaran di banyak bank, likuidasi bank tidak  dilakukan atau dihindari. Soalnya likuidasi bikin panik (=menjaga ketenangan masyarakat).

Apa benar waktu 1997-1998 dulu, saat kurs rupiah jelek, likuidasi bank ada kaitannya sama bank run dan bank rush dimana-mana?

Saya dah tunjukkan gambar fluktuasi dana pihak ketiga bank 396 bulan dari tahun 1980-2012. Bulan Januari biasanya dana pihak ketiga berkurang. Selain bulan Januari, dana bank naik turun, ada likuidasi atau tidak, masa krisis atau tidak.

Saya juga sudah pamerkan gambar prosentase jumlah bank yang mengalami kekurangan dana pihak ketiga dari tahun 1996-1999. Jumlah atau prosentase bank yang mengalami penurunan dana pada bulan Januari antara 1996-1999 mencapai lebih dari 80%. Yang terima tambahan dana hanya sekitar 20% atau kurang. Diluar bulan Januari, prosentase bank yang mengalami penurunan dana  sekitar 40%-50% pada bulan Maret/April, Agustus/September, Oktober/November. Prosentase jumlah bank yang mengalami penurunan dana pada masa krisis lebih tinggi. Akan tetapi pola atau siklus penurunan dana dalam setahun tidak terlalu berbeda.

Supaya lebih mudah dipahami  hubungan dana pihak ketiga dengan apresasi dolar/depresiasi rupiah, ini saya pamerin tabel korelasi tahunan dari 1997-2012. Seperti gini:

correl dp3_depr idrOkey, memang tiap tahun cuma ada 12 bulan. Jadi, korelasi yang per tahun memang dilakukan dengan data minim. Saya juga hitung korelasi 1997-1999 dan 1997-2012. Ni biar tabel isinya banyak…hehe. Sekaligus untuk memperlihatkan dan membandingkan korelasi kurs dengan dana tiap tahun.

Apresiasi dolar/depresiasi rupiah sebulan dihitung kumulatif, bukan dioff-set, bukan dirata-rata, untuk memperlihatkan seberapa buruk rupiah terdepresiasi. Sebagai info saja, biasanya orang tidak pakai akumulasi depresiasi atau apresiasi. Cara ini tidak “intuitif” karena menjumlahkan depresiasi mata uang. Dengan cara saya ini, kalau dalam sebulan ada 25 hari kerja dan rupiah terdepresiasi 3 hari masing-masing 1%, saya akan hitung depresiasi rupiah adalah 3%. Karena kalau mata uang terdepresiasi angka jadi lebih besar (positif), saya tetapkan begini: semakin positif angka apresiasi dolar/depresiasi rupiah, semakin minus angka perubahan dana pihak ketiga. Artinya korelasi yang diharapkan negatif.

Kalau antara nilai tukar dengan dana pihak ketiga ada hubungannya mestinya nilai “r” tinggi, diatas 50%. Saya berharap tahun-tahun krisis korelasi dua variabel ini negatif dan besar (biar meyakinkan). Tapi ternyata, antara masa krisis (1997-1999) korelasi dengan tanda sesuai harapan hanya terjadi di tahun 1998 dan 1999. Nilai korelasi 1998 memang lumayan -55% tapi tidak terlalu meyakinkan bahwa nilai tukar memang berkaitan dengan dana pihak ketiga. Nilai tukar hanya menjelaskan 31% dari dana pihak ketiga;  ada 69% faktor lain yang memengaruhi fluktuasi dana pihak ketiga. Nggak tau juga apa prosentase segitu sudah termasuk tinggi ya?? Anehnya, tahun 2012 antara dana pihak ketiga dan nilai tukar malah berkorelasi -60,79%. Lebih tinggi dari 1998! Padahal waktu itu tidak ada deklarasi krisis dan tidak ada likuidasi bank.

Tabel ini juga menunjukkan, secara umum (1997-2012), nilai tukar tidak ada korelasinya dengan fluktuasi dana pihak ketiga bank. Hanya pada masa krisis saja (1997-1998 atau 1999) angka korelasi menjadi 10 kali lipat (dari 1997-2012); itupun tidak terlalu meyakinkan, tidak terlalu tinggi.

Seberapa jelek kurs rupiah untuk memicu krisis?

Ini pernah saya tulis… dan sebetulnya, leading indicator krisis tidak pakai kurs “biasa”; yang dipakai adalah Real Effective Exchange Rate.

Tapi gak papa…sekarang mau membandingkan kondisi kurs 1997-1999 dengan tahun-tahun lain, terutama 2008. Mau cari tau, apa ada ciri-ciri depresiasi kurs sebelum akhirnya jadi krisis. Apa pola itu juga nampak di tahun 2008?

Ini gambar akumulasi depresiasi rupiah 1997-1999

akm apres 97

 

Rata-rata akumulasi depresiasi 1997-1999 adalah 22,48%, jauh diatas rata-rata periode 1997-2012 yaitu 8,69%. Selain itu akumulasi depresiasi rupiah bulanan bisa berlipat kali dibanding bulan sebelumnya. Dari Juli ke Agustus 1997 akumulasi depresiasi menjadi 5 kali lipat karena ada perubahan penetapan kurs dari fixed menjadi floating. Bahkan dari November ke Desember 1997   meningkat 4 kali.

Mari dilihat periode pemulihan dari krisis, antara 2000-2002

akm apres 00

 

Walaupun tidak ada akumulasi depresiasi sampai 100% sebulan, peningkatan akumulasi depresiasi ternyata sampai 8 kali lipat. Tengok periode Juli-Agustus 2001. Walaupun rupiah cenderung menguat, tapi antara tanggal 14-15 Agustus melemah 5,8% dan antara tanggal 17-18 melemah 3,4%. Kalau dilihat hanya pas akhir bulan syiih, Rupiah dijualbelikan dengan kisaran harga 8800/USD. Tapi sebenarnya selama bulan Agustus rupiah telah kehilangan value 15%.  Demikian juga bulan Mei-Juni 2002. Hal yang menarik dari periode 2000-2002, periode sekitar 2000-2002 ditandai dengan rata-rata akumulasi depresiasi rupiah 8,89% ; angka ini sedikit diatas rata-rata periode observasi (1997-2012) yaitu 8,69%

Nah, kalau periode 2007-2009, gambarnya kayak gini:

akm apres 08

 

Silakan dinilai dan dibandingkan sendiri dah… Antara gambar ini dengan dua yang pertama…. Benarkah jeleknya kurs (dalam hal ini akumulasi depresiasi rupiah) 2008 bisa jadi indikator “mengarah ke krisis besar”?? Menurut saya sih, (seandainya kita ada di Oktober 2008) sejelek-jeleknya estimasi, mustinya perkiraannya bukan “mengarah ke kondisi 1997-1998” tapi “ke kondisi 2000-2002”. Soalnya rata-rata akumulasi depresiasi rupiah  pada periode 2007-2009  hanya 5,1 %.  Antara Januari 2007 -September 2008 hanya 4,3%.  (Heran ya..sama kinerja ekonomi makro sendiri kok gak pe-de???) Tidak ada lonjakan kelipatan akumulasi depresiasi lebih dari tiga kali lipat selain yang terjadi di bulan September-Oktober 2008.

More fun….

Saya cuma ngikuti argumentasi bailout dari media. Jadi benar atau salah tergantung bagaimana media menyampaikan/menulis yang dikemukakan di pengadilan. Kayaknya sih argumentasinya gini: depresiasi rupiah bikin dana pihak ketiga berkurang kalau ada likuidasi. Jadi faktor likuidasi bank ini penentu. Ada likuidasi dana pihak ketiga bisa bubar dari industri perbankan. Tidak ada likuidasi, dana pihak ketiga aman. Apapun yang terjadi dengan kurs.

Saya sudah tunjukkan gambar fluktuasi dana pihak ketiga, baik periode 1980-2012 maupun 1996-1999. Saya juga sudah pamerin gambar prosentase bank/jumlah bank yang mengalami penurunan dana 1996-1999. Dalam kondisi ada likuidasi atau tidak.

Bagaimana kurs rupiah berkorelasi dengan dana pihak ketiga antara 1997 sampai dengan 2012 juga sudah saya tunjukkan dalam tabel. Pada umumnya, korelasi dua variabel itu lemah. Kalau toh ada yang menunjukkan koefisien korelasi lumayan tinggi, terjadi hanya di tahun 1998 dan 2012.

Sekarang, bagaimana kalau hubungan tiga variabel itu dibikin regresi? Kira-kira bisa tidak disimpulkan bahwa “likuidasi saat kurs rupiah jelek” menjelaskan anjloknya dana pihak ketiga? Regresi memungkinkan pengujian ini karena ada yang disebut “interaction effect” variable. Jadi dua variabel dikalikan (membentuk variabel ketiga”) untuk cari tau bagaimana efek indepent variabel pertama bersama-sama independent variabel kedua (tanpa harus mengasumsikan salah satu variabel adalah nol) dalam menjelaskan dependent variabel.

Tiga variabel yang saya pakai: (1) fluktuasi dana pihak ketiga; (2) akumulasi apresiasi dolar atau akumulasi depresiasi rupiah; (3) likuidasi bank. Periode observasi 1997-2012, bulanan. Untuk variabel terakhir (likuidasi bank), ada sedikit masalah. Saya tidak punya data likuidasi bank. Yang saya punya adalah data jumlah bank. Itupun data yang bisa dikumpulkan via web tidak lengkap. Saya nyari di file Statistik Perbankan Indonesia dan Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, tidak selalu dapat data jumlah bank per bulan. Kadang cuma dapat tahunan. Apa boleh buat, itu yang saya pakai. Masalah yang lain, jumlah bank berkurang tidak selalu karena likuidasi. Ada merger dan akuisisi dengan alasan yang benar; bukan karena bank yang terlibat bank-bank jelek yang dihindarkan dari likuidasi. Sebaliknya, setidaknya menurut teori, likuidasi bank tidak selalu berarti bank berkurang. Ada teknik likuidasi yang memungkinkan bank tetap beroperasi seperti biasa sementara aset bermasalah dikelola oleh Asset Management Company (macam BPPN/IBRA) seperti yang banyak dilakukan di Eropa. Dengan keterbatasan itu (sebetulnya kalau mau rajin tanya-tanya dan nyari sih bisa), saya berasumsi kalau jumlah bank berkurang, berarti ada likuidasi. Ini asumsi yang “generous” untuk variabel likuidasi bank, mengingat hal-hal yang saya kemukakan barusan.

Jadi, regresi sederhana yang saya bikin kira-kira gini:

delta dana pihak ketiga=a+akumulasi apresiasi dolar ato depresiasi rupiah+delta jumlah bank+(akumulasi apresiasi dolar ato depresiasi rupiah x delta jumlah bank)+e.

Terus terang saja, saya tidak yakin dengan kebenaran model kayak gini. Lho nggak yakin kok pake repot dibikin regresi segala? Lha ya ini cuma buat nglucu saja…kan ceritanya mau nge-tes argumentasinya orang. Saya nggak yakin, soalnya dana pihak ketiga tu determinantnya -setau saya- bukan kurs bukan likuidasi bank. Pembaca, silakan tanya ke diri sendiri: simpan duit ke bank tu karena apa? Mestinya karena ada sisa income ato disposible income. Kalau tarik duit dari bank…apa nunggu kalau ada berita likuidasi? Kan enggak toh? Ada instrumen investasi lain yang lebih menguntungkan, entah emas entah saham, kita tarik duit. Ada kebutuhan hari raya, anak sekolah, liburan, dst, kita tarik duit. Dari sisi penalaran saja, orang tidak simpan dan tarik duit karena kurs. Apalagi kalau kurs rupiah jatuh, biasanya pemerintah/otoritas terus pasang bunga tinggi supaya orang tidak konversi rupiah ke dolar. Jadi, kalau toh ada faktor kurs, saya pikir itu karena gini: ketika kurs rupiah jatuh, biasanya harga-harga barang jadi mahal. Apalagi masa 1997-1999. IMF masuk menyelamatkan kurs tapi minta macam-macam: tidak boleh lagi ada subsidi ini-itu. Karena barang mendadak jadi langka dan/atau mahal ya otomatis banyak yang melikuidasi tabungan. Itu belum termasuk perhitungan keamanan dan politik yang waktu itu tidak menentu.

Okey, itu saja reservasi saya (regresi belum dibikin dah ragu sama hasilnya…). Saya pake Excel dan hasil multiple regression periode 1997-2012 seperti ini:

regresi 1997-2012

Confidence level 95%, artinya kita cari P-value maksimal 5%  atau 0,05. Ternyata gak ada. Selain itu Significance F (yang pada dasarnya menunjukkan meyakinkan tidaknya model) kita cari sekecil mungkin angkanya 0,00. Ternyata ini 0,86. Artinya model ini tidak ok. Akumulasi apresiasi USD/akumulasi depresiasi Rupiah, perubahan jumlah bank dan variabel interaction effect tidak menjelaskan perubahan dana pihak ketiga.

Gimana kalau model diterapkan untuk periode krisis 1997-1999?

regresi 1997-1999

Dengan significancel level 95%, hasil P value malah lebih bagus daripada hasil regresi 1997-2012. Significance F juga lebih kecil. Kalau pakai periode observasi cuma 36 bulan ternyata model malah lebih bagus. Sehingga kita bisa (misleading) dalam mengambil kesimpulan, akumulasi apresiasi USD/akumulasi depresiasi Rupiah, perubahan jumlah bank dan variabel interaction effect dapat menjelaskan dengan meyakinkan variabel perubahan dana pihak ketiga. Jadi gimana ni…. Untuk nguji apa benar gitu, periode observasi saya tambah jadi 1997-2000, hasilnya ternyata tidak sebagus 1997-1999. Periode observasi ditambah setahun saja ternyata malah jelek. Bisa dilihat disini.

Mungkin ada structural break… atau yang lain??

Kata orang-orang pinter, berhubung periode 1997-2012 itu ada krisisnya, mungkin ada yang disebut “structural break”. Ini bikin regresi kadang musti dipecah jadi dua. Dalam hal ini regresi periode krisis dan periode non krisis (paska 1997-1999). Tapi benar ada structural break atau tidak juga harus diuji. Pake Chow test (lihat contohnya di http://www.dies.uniud.it/tl_files/utenti/rizzi/Econometrics/example-break.pdf). Saya dah coba gambar tiga variabel (kurs, jumlah bank, dana)…kayaknya gak ada structural break. Lihat sini. Dari 1997-2012 titik observasi nampak menyebar relatif konsisten. Jadi ragu juga…masak krisis besar tempo hari itu tidak cukup jadi “structural break”??

Saya bukan statistician, cuma melucu pake statistik. (Jadinya malah tidak lucu)
Karena keberadaan structural break meragukan baik dari gambar maupun hasil Chow test, akhirnya saya pikir, mendingan model saya uji saja tingkat predictive power masing-masing periode yang hasilnya bertolak belakang itu.

Ada dua hasil regresi kan: yang 1997-1999 dan 1997-2012. Hasil regresi yang pertama kayaknya meyakinkan; yang kedua tidak. Kalau punya model regresi meyakinkan, residual plotnya pasti bagus. Artinya titik residual akan ada di sekitar garis horisontal 0. Karena hasil regresi 1997-1999 nampak lebih bagus, mestinya hasil residual juga lebih berkumpul di garis 0 (lihat http://blog.minitab.com/blog/adventures-in-statistics/why-you-need-to-check-your-residual-plots-for-regression-analysis ). Gambar kedua residual itu seperti ini:

residual(abaikan saja “axis title”…tu mustinya dihapus..kelupaan)

 

Walaupun sama-sama ngumpul di garis horisontal, grafik residual 1997-2012 memiliki sebaran lebih konsisten di garis horisontal 0 dibandingkan grafik residual 1997-1999. Kalau diperhatikan baik-baik, grafik residual 1997-1999 menyebar dengan slope negatif. Menurut saya, ini menunjukkan model 1997-2012 lebih bisa diandalkan. Sayangnya hal itu berarti, model regresi yang dipamer-pamerin disini itu tidak bagus. Fluktuasi dana pihak ketiga bank tidak dijelaskan oleh perubahan kurs, perubahan jumlah bank dan interaction effect keduanya.

Masih belum percaya dengan hasil yang mengecewakan ini, saya coba uji daya prediksi tiap variabel kedua model. Mestinya model yang bagus akan punya daya prediksi lebih mendekati titik observasi. Jadi tiga variabel independen (akumulasi apresiasi USD/akumulasi depresiasi Rupiah, fluktuasi jumlah bank dan interaction effect keduanya) dipakai untuk memprediksi fluktuasi dana pihak ketiga. Gambar line fit plot periode 1997-1999 dan 1997-2012 seperti ini:

LINE FIT PLOTSilakan dilihat dan dibandingkan mana yang lebih bagus daya ramalnya….Menurut saya sih yang 1997-2012 lebih baik. Sekali lagi, sayangnya itu berarti model tidak ok. (Tapi kalau ada yang punya pendapat lain, welcome yah….)

Setelah pake gambar, uji korelasi dan  uji statistik ternyata tidak bisa didapat hubungan yang meyakinkan antara fluktuasi dana pihak ketiga disatu sisi dengan fluktuasi kurs (akumulasi), fluktuasi jumlah bank (likuidasi) disisi lain. Bagaimana dengan hubungan sebab akibat antara fluktuasi dana pihak ketiga dengan dua variabel yang lain (kurs dan likuidasi)? Uji Granger causation bisa dipakai untuk lihat hubungan sebab-akibat.  (Saya pakai software gratisan http://www.wessa.net/rwasp_grangercausality.wasp  ). Saya tidak berharap hasilnya ok…dan ketika saya coba-coba, ternyata memang jelek. Hubungan sebab-akibat, kalau toh ada, hanya  nampak di tahun 1997 saja, antara fluktuasi dana pihak ketiga dan jumlah bank (sebagai proxy likuidasi). Llihat sini kalau minat . Untuk tahun-tahun lain, apalagi periode 1997-2012, hasilnya jelek, tidak signifikan secara statistik. Demikian pula pengujian hubungan sebab akibat antara fluktuasi dana pihak ketiga dengan kurs. Untuk tahun 1997 saja hasilnya sudah jelek. Tahun 1998, yang dihitung pakai korelasi menghasilkan “r” lumayan, ternyata dihitung pakai Granger hasilnya jelek; tidak signifikan.  Lihat sini. Demikian juga dengan periode lain dan periode 1997-2012 hasilnya juga  jelek.

The biggest take away…

Lalu apa yang didapat dari coret-coret yang maunya lucu, panjang dan membosankan ini? Pertama, penurunan dana pihak ketiga sebetulnya tidak ada hubungannya dengan kurs dan likuidasi. Walaupun anggapan yang selama ini beredar cukup intuitif, argumentasi tersebut tidak sesuai dengan cerita data. (Mereka yang berargumen semacam itu,  melihat data hanya pada bulan likuidasi; tidak melihat data bulan-bulan lain)

Beberapa uji yang dilakukan menunjukkan, kalau toh ada hubungannya, hubungan itu tidak stabil dan tidak bisa dijadikan alat prediksi. Contohnya ya uji Granger causation itu. Ternyata hasil yang signifikan menunjukkan sebab-akibat hanya ditahun 1997 saja. (Ingat juga masalah yang timbul kalau observasi  terbatas, hanya 12 bulan). Di tahun-tahun lain tidak ada hubungan sebab akibat antara fluktuasi dana dengan jumlah bank (proxy dari likuidasi bank). Bagaimana mau menyimpulkan likuidasi menyebabkan dana pihak ketiga turun??? Saya open sama kemungkinan, data bulanan yang saya pakai menimbulkan “masalah”. Maksudnya, seandainya yang dipakai adalah data mingguan, mungkin hasilnya akan beda. Sayangnya saya tidak punya data mingguan 1980-2012 atau 1997-2012.

Kedua, pengambilan keputusan yang sulit dalam waktu yang sempit bukan pembenaran untuk mengabaikan etik yang bisa mengakibatkan kerugian. Saya akan kasi contoh, cerita dibalik meledaknya pesawat ulang alik Challenger tahun 1986 (diambil dari Blind Spots, Max H Bazerman dan Ann E Tenbrunsel halaman 13-16). Challenger  meledak 28 Januari 1986 ketika diluncurkan pada pagi hari dimana suhu tercatat paling dingin dalam sejarah pelucuran pesawat ulang alik. Investigasi menemukan pesawat meledak gara-gara “O” ring di salah satu roket pendorong tidak berfungsi dengan baik pada temperatur yang rendah. Tujuh astronot tewas dalam kecelakaan itu.

Pertanyaannya: mengapa kayak gini bisa terjadi padahal proyek itu proyek orang-orang amat sangat pinter sekali??? Ceritanya gini: 27 Januari malam, manajer dan engineer dari NASA dan Morton Thiokol mendiskusikan apakah aman meluncurkan Challenger keesokan hari pada suhu rendah (Januari musim salju disono). Sebetulnya masalah pada O ring sudah terdeteksi. Ahli dari Thiokol merekomendasikan pada manajer mereka dan NASA (klien Morton Thikol) pesawat tidak diluncurkan mengingat masalah pada O ring. Tapi pejabat NASA bereaksi keras atas rekomendasi  tersebut. Singkat cerita, manajer Morton Thiokol akhirnya memutuskan untuk “tidak mendiskusikan fakta” (yang dipaparkan engineernya sendiri). Menurut salah satu engineer Thiokol, manajer berusaha mengumpulkan data yang mendukung argumen mereka, tapi makin banyak data dikumpulkan makin banyak bukti bahwa sebetulnya peluncuran itu tidak akan aman. Meskipun begitu, akhirnya manajer Morton Thiokol merekomendasikan peluncuran, yang -tentu saja- langsung dapat persetujuan dari NASA.

Investigasi paska kecelakaan Challenger juga menemukan, engineer NASA dan Morton Thiokol tidak melakukan penelitian lebih banyak mengenai hubungan kegagalan O ring dan suhu. Mereka tau ada masalah pada O ring, tapi tidak melihat hubungannya dengan suhu pada saat peluncuran. Pada temperatur seperti apa O ring itu gagal bekerja dan pada temperatur berapa O ring bisa berfungsi dengan baik…. ni ternyata tidak diteliti. Seandainya semua data diteliti, dapat disimpulkan, 99% kemungkinan peluncuran Challenger itu gagal! Kedua penulis Blind Spots menutup cerita tragis Challenger dengan kutipan berikut:

“These decisions makers were guilty of a common form of bounded ethicality: moving forward too quickly with readily available information, rather than first asking what data would be relevant to answer the question on the table and how the decision would affect other aspects of the situation or other people” (hal 15).

“Krisis ekonomi” (atau krisis ekonomi tanpa tanda petik) bukan pembenar untuk mengesampingkan etik (=dampak keputusan pada instansi lain, orang lain, negara….).

Segitu dulu….